You Are Reading

0

Carut Marut Tentangmu

anak baru GEDE Senin, 09 April 2012
Selamat pagi,
Pagi ini begitu bening dengan senyummu di pelupuk mata. Ternyata masih saja terus
kurindukan senyummu. Mendekapmu adalah kenikmatan ketika energiku serasa
mengalir deras. Bukan, bukan gairah yang meletup-letup, tapi mungkin cuma berupa
getar carut marut seluruh perasaan kita pada saat itu. Barangkali kamu pun seperti
itu sayang.
Kemarin hampir sepanjang waktu aku seperti selalu tercium baumu. Parfum dan
semua yang menguap dari tubuhmu. Apa yang akan kita lakukan setelah ini?
Pertanyaan itu menderu-deru sepanjang waktu sampai saat ini, tanpa bisa kita
jawab sempurna. Jika di satu waktu kita tahu bahwa tibalah segera saatnya kita
segera merenggangkan genggaman tangan. Kita tak bisa bertahan dengan cara
seperti ini. Jakarta sudah mengubah kita jadi semacam ini. Kota yang dulu di masa
remaja tak pernah kita inginkan jadi tempat bernaung, sudah menyedot kita begitu
kuat. Lihtlah hasilnya, bukan saja kediriian kita yang ikut terbawa, bahkan seluruh
sumsum rasa dan cara berpikir kita pun menjadi begitu rumit. Dari masa lalu, kita
tak lagi terlihat sederhana. Memandang diri kita sendiri saat ini dari masa lalu, akan
membuat kita tampak begitu konyol dan egois.

Cinta tak nampak bagai misteri sebenarnya, kita hanya terlalu naif memahaminya
dengan penggal-penggal emosi dan kesadaran kita. Aku berangkat dari cita-cita, dari
semua yang aku letakkan di atas idealisme dan harapan akan kesempurnaan. Juga
ketika kudengar ceritamu, barangkali kamu pun tak jauh dari bayangan kanak-kanak
kita yang sederhana dan selalu gembira. Beginilah kita jadinya. Aku belum mampu
beranjak dari bibirmu yang terasa seperti buah plum ketika kusentuh.
Kita sama-sama terpesona, bukan oleh apa yang ada pada diri kita. Yang dulu
pernah begitu jauh dari angan-angan jadi begitu dekat. Dan entah energi darimana,
membuatmu begitu hangat dan lekat.
Sayangku,
bukankah ternyata semua jadi tak sesederhana yang kita bayangkan? Kita mainkan
sesuatu yang begitu indah di gigir jurang, sedikit saja sebuah batu terlepas, kita
akan terjatuh. Tapi dengarlah, suara musik di lantai dansa seperti tak henti
menggema di ruang hati kita. Aku tak sabar menyeretmu ke sana, dan kamu pun
meliuk sempurna dalam nada. Aduh, apa yang terlintas di pikiran kita saat itu?
Hujan menderas di jendela ketika senja mulai mengendap, dan tiba-tiba kita
terhenyak. Bersisian kita menatap kejauhan, menatap lampu ruang yang meredup.
Begitu ingin rasanya kubentangkan sayapku merengkuhmu lagi, membawamu
terbang jauh dari deru Jakarta, jauh tinggi ke langit-langit mimpi masa kecil kita.
Bibirmu begitu penuh ketika kusentuh, kali ini seperti sudah kita tanggalkan keluh
ragu di belakang kesadaran kita. Hanya ada kita, berdua.Ada kalanya mimpi
berlangsung hampir sempurna, seolah nyata. Atau bahkan kenyataan seolah bagai
mimpi. Hampir tak ada beda, karena kita sama-sama tidak bisa memilihnya. Begitu
ingin rasanya kita bermimpi indah, tapi toh kemudian kita hanya terbangun pagi
tanpa apapun yang tersisa di kepala. Seluruh pengalaman itu kemudian kita larikan
ke bawah sadar. Lalu ada kalanya "deja vu!", kita menemukannya lagi dalam mimpi
yang lain, atau bahkan dunia nyata (apalah bedanya), sesuatu yang berkaitan
dengan yang pernah kita alami. Malam selalu menarik karena penuh rahasia. Meski
seluruh rahasia hanyalah milikNya, tapi kita diberi anugrah rasa sedih atau bahagia.
Bahagia kadang begitu sulit digapai. Anehnya, orang bijak berujar, bahwa bahagia
akan mendekat ketika kita mampu membunuh keinginan. Keinginan bukanlah dosa,
karena Allah memberi hak kita untuk bekerja mewujudkannya, tapi kemudian
hasilnya adalah sepenuhnya keputusannya. Ini berlaku untuk semua hal yang indah
dan berharga. Juga cinta. Karena Dia bekerja dengan cinta, maka kita seolah ada.
Kemudian kita seolah ada, jelas bukan karena kita berpikir seperti yang diucapkan
Descartes. Kita tak pernah ada. Semuanya mutlak hanya Dia.
Tugas kita hanyalah menafsir gerak daun jatuh, menafsir tiap embun yang menitik di
lembaran daunnya. Akan selalu ada kata yang terlepas dari suasana. Sebab
bukankah pada tiap tangkap selalu mungkin ada pula yang terlepas dari dekap? Ah,
dengan konyolnya saat ini aku masih saja menyimpan harap pada apa yang kamu
anggap tak akan pernah mungkin. Tidak apa, seperti kata seorang penyair, "kita tak
memilih acara, pada angin runcing dan warna musim kau juga akan terbiasa, nasib
telah begitu tertib..."

Jakarta, Juni 2001

Semoga kurnia Allah atas senyum manismu

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

anak baru GEDE
Lihat profil lengkapku
 
Copyright 2010 Ada apa dengan CINTA
by Distribution New Blogger Templates